Penemuan Pithecanthropus di Jawa Timur Kala Pleistosen

 

PENEMUAN PITHECANTHROPUS DI JAWA TIMUR PADA KALA PLEISTOSEN

           Awal kemunculan manusia di bumi diperkirakan sekitar 3 juta tahun yang lalu dan bersamaan dengan terjadinya glasiasi di bumi yang terdapat pada suatu zaman yang disebut kala Pleistosen. Kala Pleistosen ini merupakan bagian masa geologi yang paling muda dan paling singkat, namun mengalami masa sejarah umat manusia yang paling tua. Pada masa inilah yang merupakan masa terpanjang dalam sejarah manusia. Pleistosen dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Pleistosen Awal, Pleistosen Tengah, Dan Pleistosen Akhir. Pada masa Pleistosen Tengahlah, manusia purba Phitecanthropus mulai ditemukan. Akhir dari kala Pleistosen sendiri berhubungan dengan zaman Paleolitikum yang dikenal dalam arkeologi. Semua kegiatan rekontruksi peristiwa – peristiwa pada kala Pleistosen hingga bukti – bukti kehidupan berupa fosil – fosil yang terdapat dalam lapisan tanah akan membantu banyak dalam proses pengambilan keputusan.

           Pada kala ini, hewan dan tumbuhan telah hidup merata di bumi, sedangkan manusia baru muncul hanya di beberapa daerah, yaitu Afrika, Eropa, dan Asia yang termasuk di dalamnya adalah Kepulauan Indonesia. Aktivitas vulkanisme pada kala Pleistosen banyak mengubah bentuk muka tanah, dan lahar yang mengalir dari berbagai gunung api telah membawa jasad – jasad mahluk hidup yang telah berusia ratusan ribu tahun menjadi fosil – fosil yang berada di tempat – tempat yang lebih rendah. Sehingga penemuan fosil – fosil manusia purba beserta sisa – sisa kehidupannya lebih banyak ditemukan di daerah – daerah sekitar gunung api. Sedangkan untuk daerah sungai dan danau kurang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia terdahulu, namun keduanya memiliki  peranan sebagai bukti dari perubahan – perubahan bentuk muka bumi, iklim, dan sisa – sisa kehidupan manusia purba.

Endapan Pleistosen memang banyak terdapat di Indonesia, salah satunya di Pulai Jawa. Contoh penemuan dalam lapisan tanah pada kala Pleistosen di Jawa, terdapat di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo, terutama di Trinil dan Sangiran. Endapan Pleistosen di Pulau Jawa sendiri memang terkenal, hal ini karena adanya Temuan Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus) yang sangat menggemparkan dunia penelitian. Penemuan fosil tersebut terjadi pada tahun 1936 dan foslinya berupa tengkorak anak – anak yang terdapat pada bagian atas lapisan keempat, atau 1 meter dari muka tanah kita sekarang ini.

Endapan pada kala Pleistosen tengah dikenal dengan sebutan “Formasi Kabuh” yang juga terdapat di sepanjang pegunungan Kendeng, terutama di Trinil dan Sangiran. Hasil – hasil fosil yang ditemukan dalam formasi Kabuh antara lain manusia, hewan, dan tumbuhan yang jumlahnya lebih banyak dibanding temuan di formasi Kuncangan. Hal ini membuktikan jika tanda/bukti kehidupan manusia kala Pleistosen Tengah lebih jelas dibanding masa sebelumnya. Beberapa ahli, seperti Koenigswald menyatakan bahwa terdapat alat – alat batu di sekitar kali Baksoko (Pacitan) yang berusia kala Pleistosen Tengah. Jika benar demikian, itu artinya alat – alat batu tersebut merupakan hasil budaya Pithecanthropus yang hidup pada masa itu. Selain itu, Pithecanthropus (Homo erectus Ngandongensis) juga dianggap pembuat peralatan serpih belah yang terdapat di dalam endapan krikil coklat kemerahan yang bercampur pasir dalam formasi “Notopuro” di bagian timur Pegunungan Kendeng.

Endapan kala Pleistosen Atas merupakan undak – undak sungai. Dalam undak – undak di sepanjang sungai Bengawan Solo terdapat penemuan penting dalam suatu ekskavasi pada tahun 1931-1933 oleh Oppenoorth dan Ter Haar di desa Ngandong. Ekskavasi tersebut menghasilkan temuan berupa 12 buah tengkorak Pithecanthropus Soloensis (Homo Erectus Ngangdongensis) dan sejumlah fosil hewan besar lainnya. Jejal – jejak hidup manusia purba banyak terdapat pada kala Pleistosen Awal di Indonesia, sekitar tahun 1,9 juta tahun. Pada masa ini, hiduplah Pithecanthropus Modjokertensis dan Meganthropus Paleojavanicus, yang dianggap bentuk primitif dari Pithecanthropus.   Di masa berikutnya, hiduplah di Indonesia manusia yang bentuknya lebih maju, yakni Pithecanthropus Erectus dan Pithecanthropus Soloensis pada awal Pleistosen Tengah. Pithecanthropus Soloensis ini masih hidup berlanjut sampai Pleistosen Akhir bersamaan dengan Homo Sapiens dari Wajak.

Berburu dan mengumpulkan makanan menjadi corak penghidupan pokok dari perkembangan budaya pertama pada kala Plesitosen. Bukti – bukti budaya yang pertama kali temukan berupa alat – alat batu jenis serpih, kapak perimbas, serta alat – alat dari tanduk dan tulang hewan,. di Indonesia Sendiri, kala Pleistosen yang berlangsung lebih dari 3 juta tahun, mengalami perkembangan yang sangat lamban, baik dari bdang jasmani dan rohaniah.

Penelitian ilmiah tentang fosil manusia purba dimulai pada sekitar akhir abad ke-19, walaupun fosil – fosil manusia purba di Indonesia telah ditemukan terlebih dahulu. Penelitian paleoantropolgi dimulai oleh Eugene Dubois. Dubois merupakan seorang pelopor penelitian paleoantropologi di Indoensia. Beliau merupakan seorang dokter tentara Belanda yang menaruh minat pada evolusi manusia purba. Ia berpendapat bahwa sumber – sumber kehidupan manusia purba banyak ada di daerah tropik, termasuk kepulauan Indonesia.  Fosil manusia purba Pithecanthropus pertama yang ditemukannya, berada di Trinil pada tahun 1891. Penemuan Dubois menarik minat Selenka yang juga melakukan ekskavasi di tempat yang sama pada tahun 1907-1908.

Pada 1889, Dubois menemukan tengkorak manusia di tiga daerah, yakni Wajak, Tulungagung, dan Kediri. Sehingga ia memindahkan kegiatannya yang awalnya di Sumatera Barat pindah ke Pulau Jawa. Ia pun juga berhasil menemukan sisa manusia purba di Kendrungbrubus dan Trinil. Sejumlah fosil – fosil besar hasil temuan Dubois tersimpan di Leiden (Belanda) hingga kini.

Temuan Dubois yang pertama kali diumumkan adalah fosil atap tengkorak Pithecanthropus Erectus di Trinil pada tahun 1891. Temuannya itu berperan penting dalam sejarah peleoantropologi. Meskipun begitu, temuan tulang – tulang paha dari Trinil masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Pada 1907 – 1908 ekskavasi beregu yang dipimpin Selenka memang tidak berhasil menemukan fosil – fosil manusia purba, tetapi temuan fosil – fosil hewan dan tumbuhan membantu kita dalam memahami kehidupan Pithecanthropus.

Penemuan tahap kedua merupakan penemuan penting, karena memberi hasil terbanyak dalam waktu singkat. Penemuan tersebut berhasil menemukan seri tengkorak yang besar jumlahnya, meski dalam waktu yang pendek. Tengkorak dan tulang kering Pithecanthropus Soloensis ditemukan di Ngandong, Blora dalam ekskavasi yang dipimpin oleh tiga orang, antara lain Haar, Oppenorth, dan Koenigswald antara tahun 1931 – 1933. Dan hasil temuan ke dua disimpan di Frankut (Jerman).

Tahapan ketiga atau tahap terakhir dalam penelitian paleoantropologi diselingi oleh perang dunia ke-2, yang menyebabkan terhambatnya kegiatan penelitian ini. Hingga penelitian tahap tiga dimulai setelah Indonesia merdeka. Sebagian besar hasil penelitian tahap terakhir ini berasal dari daerah Sangiran. Hal pentingnya, ditemukan bagian – bagian tubuh Pithecanthropus yang belum ditemukan sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa penelitian tahap ini menyempurnakan penemuan – penemuan pada tahap – tahap sebelumnya. Bagian – bagian tubuh yang ditemukan antara lain tulang – tulang wajah, dasar tengkorak, dan tulang pinggul. Dalam tahapan ini juga ditemukan fosil tengkorak di tempat baru, yakni Sambungmacan, Sragen. Bahkan, dalam temuan ini, hasil – hasil temuannya menghasilkan variasi yang menarik dan menyimpang dari sebelumnya.

Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah fosil Pithecanthropus, bahkan kala dikatakan kala Pleistosen di Indonesia didominasi oleh Pithecanthropus. Manusia purba ini hidup pada kala Pleistosen Awal dan Tengah, namun juga memungkinkan juga hidup pada kala Pleistosen Akhir. Sisa – sisa kehidupannya ditemukan di beberapa tempat, yakni di Perning, Kedungdrubus, Trinil, Sangiran, Sambungmacan, dan Ngandong. Mereka hiduga hidup di lembah atau kaki gunung di Pulau Jawa ( Jawa Timur dan Jawa Barat sekarang), yang juga kemungkinan berupa padang rumput yang jarang pepohonan.

Pithecanthropus merupakan genus Homininae. Namun Pithecanthropus lebih sering dianggap termasuk jenis Homo, karena perbedaan keduanya yang tidak terlalu jauh dan lebih sering dianggap sebagai penggabungan. Pithecanthropus terdiri atas beberapa spesies dan tersebar lebih luas daripada Australopithecus. Dan pada kala Pleistosen akhir, Pithecanthropus berevolusi menjadi manusia homo. Selain di Indonesia, mereka hidup di China, Afrika, dan Eropa. Evolusi Pithecanthropus menjadi manusia lebih banyak ditemukan di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Genus Pithecanthropus sudah muncul sejak Pleistosen awal, yang merupakan jenis homo baru dalam Pleistosen Akhir. Tingginya diperkirakan hampir sama dengan manusia sekarang, yakni berkisar antara 165 – 180 cm dengan tubuh yang tegap, meskipun tidak setegap Meganthropus. Besar otaknya 750 – 1300 cc, namun kulit otaknya masih belum berkembang, sehingga otaknya lebih besar di bagian bawah dibanding atasnya. Bisa dikatakan jika, manusia mengalami evolusi dari Australopithecus ke Pithecanthropus, yakni isi tengkoraknya yang juga mencerminkan isi (volume) otak, melipat dua dari Pithecanthropus ke Homo, membesar sekitar 1 ½ kali. Ukuran giginya lebih kecil dibading Australopithecus, begitu pula rahangnya yang kuat dan otot kunyahnya. Karena rahangnya masih besar, otot – otot tengkuknya juga masih tegap untuk menjaga keseimbangan kepala atasnya. Serta tulang – tulang atap tengkoraknya tebal, seperti tonjolan pada keningnya yang melintang pada dahi dari pelispis ke pelipis, serta tonjolan belakang kepalanya yang nyata. Hal ini berbeda dengan Australopithechus dan Homo. Belum memiliki dagu, dan memiliki hidung yang lebar. Wajahnya masih menonjol ke depan, dahinya miring ke belakang, dekat dasar tengkorak yang lebar, serta belakang kepala yang belum bulat.

Pithecanthropus yang tertua adalah Pithecanthropus Modjokertensis atau robustus, yang awalnya ditemukan di formasi Puncangan di Kapuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto pada tahun 1936. Temuan tersebut berupa tengkorak anak – anak dengan kisaran usia 6 tahun berdasarkan taju putting dan sendi rahang bwahnya. Isi tengkoraknya sekitar 650 cc, atau isi bentuk dewasanya 1000 cc. Terdapat tonjolan pada kening dan tulang atapnya tidak terlalu tebal.


Temuan lain yang dianggap Pithecanthropus Modjikertensis berasal dari Sangiran, berupa atap tengkorak, beberapa bagian dasar tengkorak, rahang atas dan bawah, serta beberapa gigi yang lepas. Ciri – ciri Pithecanthrpus terlihat nyata, dengan bagian terlebar tengkorak terletak rendah dengan isi kira – kira 900 cc dekat dasar tengkorak, dan tulang atap tengkoraknya memang tebal. Tulang belakag kepala yang rendah dan memiliki segi diantara kedua bagiannya dan merupakan tempat tonjolan belakang kepala yang tajam ke bawah. Yang menarik adalah terdapat dua akar di geraham muka, ini merupakan ciri primitif.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa, Pithecanthropus Modjoketensis adalah manusia yang telah berdiri tegap. Wajahnya memiliki tonjolan pada kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat dan wajah yang menonjol ke depan. Berdasarkan pertanggalan Kalium-Argon yang terdapat di batu apung di Kepuhklagen, kepurbaannya diperkirakan sekitar 1,9 juta tahun yang lalu. Dan berdasarkan penanggalan lain yang terdapat di formasi Puncangan di Sangiran dan di tempat yang belum dipublikasikan, disimpulkan bahwa Pithecanthropus Modjokertensis hidup 2,5 sampai 1,5 juta tahun yang lalu, sehingga diperkirakan hidup bersamaan dengan Meganthropus. Walapun memang sulit untuk menemukan hubungan evolusioner pada Pithecanthropus Modjokertensis atau ribustus dengan Meganthropus.

Fosil Pithecanthropus yang lebih dulu ditemukan dan memiliki sebaran yang luas adalah Pithecanthropus Erectus. Fosilnya yang terkenal adalah atap tengkorak dari Trinil pada tahun 1891, dan pada temuan tersebutlah Dubois menemukan nama Pithecanthropus. Atap tengorak tersebut diperikirakan milik laki – laki dengan volume 900 cc. Sedangkan nama Erectus diambil berdasarkan temuan tulang paha yang menunjukkan manusia telah berdiri tegak (erect). Tulang paha yang pertama ditemukan pada 1892 dan merupakan tulang paha perempuan dengan tinggi sekitar 168 cm. Tulangnya lurus dengan pelekatan otot yang nyata, diperkirakan memiliki banyak kesamaan dengan tulang paha manusia sekarang.

Sebelumnya, juga telah ditemukan tulang fragmen bawah di Kedungbrubus pada tahun 1890 milik anak – anak dengan usia 10 tahun. Fragmen wajah tersebut batang rahang kananya tebal dengan dasar yang tipis. Tidak memiliki dagu, dan terdapat dua tonjolan melintang.

Temuan Pithecanthropus yang lain juga berasal dari Sangiran berupa tengkorak dan bagian – bagiannya. Temuan Pithecanthropus erectus yang pertama juga di Sangiran, barupa sebuah atap tengkorak perempuan dengan isi 775 cc. S3 adalah yang termuda kepurbaannya. Terdiri dari dua tulang pendinding dan tulang kepala belakang. S10 adalah atap tengkorak laki – laki dengan tulang pipi sebelah kiri. Isi otaknya sekitar 975 cc dengan kisaran suia 20 tahun. S12 merupakan atap tengkorak laki – laki usia 30 tahun. Tempat perekatan ototnya lebih nyata. S14 merupakan fragmen tulang – tulang dasar tengkorak yang jarang ditemukan pada Pithecanthropus, karena mudah pecah menjadi bagian – bagian kecil, sehingga sukar untuk diteliti. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya hipotesis kanibalisme di kalangan Pithecanthropus, meski hipotesis tersebut masih belum benar, dan menjadi persebatan.

S15 adalah fragmen – fragmen rahang atas yang kecil, namun memeberi informasi yang menarik. S15 adalah fragmen badan rahang kiri dengan kedua graham muka. Dari bnetuk giginya, terlihat manusia ini masih muda. S15b merupakan fragmen badan rahang kanan, namun aus giginya sudah lanjut. Bentuk hidungnya lebar dan pada wajahnya memiliki dua buah akar. S18a adalah fragmen - fragmen tengkorak, dan menariknya fragmen ini adalah tulang dahi yang kecil dan terbatas.  Kemudian S19b merupakan fragmen bagian tulang kering yang ditemukan di Sangiran.  S23 adalah tulang tengkorak bagian dalam yang pertama kali ditemukan pada Pithecanthropus. Isinya sekitar 750 cc.

Tinggi badan Pithecanthropus erectus sekitar 160 – 180 cm dan beratnya 80 – 100 kg. Badannya tegap dan alat pengunyahnya kuat, maski tidak sekuat pada Pithecanthropus Modjokertensis. Pihecanthropus erectus hidup 1 juta hingga ½ juta tahun yang lalu. Fosil – fosil Pithecanthropus Erectus ditemukan bersama – sama di Trinil.

Perbedaan antara Pithecanthropus erectus dengan Modjkertensis terdapat pada isi tengkoraknya, tebalnya atap tengkorak, bentuk tonjolan belakang kepala dan tonjolan kening, serta daerah telinga.

Pithecanthropus yang masih bertahan hidup sampai kala Pleistosen Tengah adalah Pithecanthropus Soloensis. Fosil – fosil Pithecanthropus Soloensis ditemukan di formasi Kabuh di Sangiran Blora. Dan fosil pertamanya ditemukan di Sangiran, tepatnya di tepi sungai Bengawan Solo. Pada tahun 1931, ditemukan dua buah atap tengkorak, tulang dahi, dan fragmen tulang pendinding. Dan pada 1932, jumlahnya bertambah dengan beberapa tengkorak. Ditemukan 4 buah tengkorak perempuan usia 35-40 tahun dengan isi perkiraan 1.1400 cc, pada tahun 1931. Ng2 merupakan perempuan sedangkan Ng3, laki – laki berusia 40-50 tahun. Sedangkan pada tahun 1932, ditemukan empat buah tengkorak dan tulang kering. Temuan tengkorak laki – laki ini merupakan tengkorak terpanjang yang pernah ditemukan, dengan isinya sekitar 1300 cc. Diperkirakan usianya 45-50 tahun. Kemudian Ng7 merupakan tengkorak terlengkap dengan dasar tengkoraknya yang utuh. Tengkorak ini, merupakan tengkorak perempuan yang berusia 45-50 tahun dengan kisaran isi 1190 cc. Otot tengkunya sudah berkembang, dan otak kecilnya lebih maju dibanding Pithecanthropus erectus. Ng8 merupakan fragmen tulang pendinding kanan milik manusia muda. Dan Ng9 adalah tulang kering kanan milik laki- laki dewasa, dengan tulangnya yang tegap dan tingginya diperkirakan 180 cm. Ditemukan pula tulang kering dan empat buah tengkorak pada 1933. Tulang kering kering tersebut merupakan milik perempuan dewasa yang tingginya 165 cm. kemudian Ng11 terdiri atas dua tulang pendinding tengkorak laki – laki berusia 25-35 tahun. Ng12 merupakan atap tengkorak berusia 50 tahun, dan Ng 13 yang perempuan berusia 40-45 tahun. Hingga, Ng14 merupakan tengkorak milik laki – laki berusia 40-45 tahun yang dasar tengkoraknya hampir utuh.

Pada tahun 1976, ditemukan Ng15 berupa bagian atas tengkorak sebelah kanan, dan Ng16 adalah tengkorak yang rapuh. Ng17 berupa tulang pinggul, yakni bagian sendi dan tulang paha ditemukan tahun 1978. Semua temuan di Ngandong ditemukan dalam ekskavasi.

Isi tengkorak Pithecanthropus Soloensis sekitar 100-1300 cc. tengkoraknya lonjong, tebal, dan masif dengan tempat perlekatan otot yang mencolok. Terdapat tonjolan kening menonjol yang mulai menyusust di tengah – tengah. Dahinya lebih berisi dan tengkoraknya lebih tinggi dibanding Pitecanthropus lainnya. Pithecanthropus Soloensis mempunyai akar hidung yang lebar dan rongga mata yang panjang. Dapat disimpulkan bahwa letak kepala Pithecanthropus Soloensis berada di atas tulang belakang seperti pada manusia modern. Tinggi badannya ditaksir sekitar 165-180 cm.

Tengkorak Pithecanthropus Soloensis juga ditemukan di Sangiran, yang ditemukan tengkorak tanpa rahang bawah. Tulang pipinya besar dan kasar, hidungnya lebih lebar dan rahang atasnya lebih menonjol ke depan. Giginya besar dengan derajat aus yang tinggi, serta geraham bungsunya telah mengecil. Sedangkan temuan di Sambungmacan, tepatnya di Ngadirojo, atap tengkoraknya juga besar dan masif.

Pithecanthropus Soloensis lebih memiliki kesamaan dengan Pithecanthropus Pekinensis dari Chou-kou-tien yang merupakan daerah dekat Beijing dibandingkan Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia. Perbedaanya dengan Pithecanthropus lainnya terletak pada besar tengkorak, tonjolan kening dan belaknag kepala, daerah telinga dan hidung.

Berdasarkan hasil peninggalannya, Pithecanthropus Soloensis hidup antara tahun 900.000 – 300.000 tahun sebelum sekarang. Memiliki hubungan yang lebih erta dengan Pithecanthropus Modjokertensis dibanding Pithecanthropus erectus. Karena dianggap sebagai evolusi dari Pithecanthropus Modjokertensis dengan mengalami perubahan – perubahan tertentu. Seperti yang terlihat, membesarnya isi tengkorak yang sesuai dengan volumenya. Kulit otaknya juga bertambah besar. Tonjolan pada kening juga mulai berkurang dan terputus dari atas hidungnya. Tulang pipinya lebih masif dibading Pithecanthropus erectus. Oleh sebagian ahli, Pithecanthropus Soloensis dianggap termasuk Homo Neanderthalensis, bahkan ada yang menganggapnya sebagai Homo Sapiens.

Perubahan otak menyebabkan perubahan pada cara hidup. Manusia Pithecanthropus lebih bisa membuat alat – alat kehidupan, yang mengakibatkan perubahan dalam eksploitasi lingkungannya. Dalam berburu sendiri, diperlukan gotong royong, pemikiran, komunikasi, serta kemampuan meransang otot dan mata yang baik. Dalam berkomunikasi, Pithecanthropus masih menggunakan cara sederhana, yakni bhasa tubuh dan isyarat muka.

Dengan kemampuan membuat alat yang berkembang, memperoleh makanan pun menjadi lebih mudah dan diolah lebih lanjut, sehingga beban alat pengunyahnya berkurang. Kerjasama dalam perburuan juga menyebabkan adanya sistem pembagian kerja antara kedua jenis kelamin. Dimana, para perempuan hanya bekerja yang ringan dan tidak jauh dari pangkalan, seperti mengumpulkan biji – bijian dan hewan – hewan kecil. Sedangkan para laki – laki melakukan perburuan hewan buas.

Dalam melakukan perburuan, kelompok berburu tidak boleh terlalu besar dan tidak pula kecil. Diperkirakan kelompok manusia pada kala Pleistosen terdiri atas 20-50 orang. Berdasarkan temuan fosil Pithecanthropus Erectus, fosil laki – laki lebih banyak ditemukan. Sedangkan pada penemuan Pithecanthropus Soloensis, jumlah laki – laki dengan perempuan sama rata, namun jumlah anak lebih sedikit yang kemungkinan disebabkan karena rangkanya yang lebih mudah rusak.

Rentang usia Pithecanthropus ditaksir antara 75 tahun dengan usia harapan lahir 20 tahun. Uisa matinya antara 15-25 tahun. Itu artinya,tidak ada yang sampai lanjut usia. Karena banyaknya kematian pada anak, usia rata – ratanya rendah, hanya 5% yang mencapai 50 tahun. Orang tua dianggap penting karena memiliki pengalaman dalam berburu, sehingga lebih dipelihara oleh kelompok. Dari luas daerah dan jumlah fosil yang ditemukan, populasi Pithecanthropus diperkirakan sekitar ¼ juta jiwa. Di Asia, pithecanthropus juga tersebar di China. Sedangkan di luar Asia, juga ditemukan di Afrika.

 

Penutup

Pithecanthropus hidup pada kala Pleistosen Awal hingga Tengah, dan diperkirakan juga hidup pada Pleistosen Akhir. Pithecanthropus ditemukan di beberapa daerah yakni Trinil, Sangiran, Ngandong, Kedungdrubus, Mojokerto, dan Sambung macan. Pithecanthropus erectus artinya manusia yang telah berjalan tegak. Penemuan Pithecanthropus pertama kali dilakukan oleh Eugene Dubois pada 1891 di Trinil, yang merupakan jenis manusia Pithecanthropus Erectus.

Pithecanthropus Modjokertensis ditemukan di formasi Puncangan di Kapuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto pada tahun 1936. Temuannya berupa tengkorak anak – anak yang berusia 6 tahun dengan isi otaknya 650 cc. Pithecanthropus ini menjadi jenis manusia Pithecanthropus tertua.

Pithecanthropus Erectus ditemukan di Trinil pada tahun 1891, dan pada temuan tersebutlah Dubois menemukan nama Pithecanthropus Erects yang artinya manusia yang berjalan tegak. Atap tengorak yang ditemukan diperikirakan milik laki – laki dengan volume 900 cc.

Dan terakhir, manusia Pithecanthropus yang bertahan hidup hingga akhir Pleistosen Tengah yaitu Pithecanthropus Soloensis. Fosil – fosil Pithecanthropus Soloensis ditemukan di formasi Kabuh di Sangiran Blora. Dan fosil pertamanya ditemukan di Sangiran, tepatnya di tepi sungai Bengawan Solo. Pada tahun 1931, ditemukan dua buah atap tengkorak, tulang dahi, dan fragmen tulang pendinding.

 


 

Daftar Rujukan

Sartono Katodirdjo, Marwati Djoned Pusponegoro, Nugroho Notosusanto.1975.Sejarah NAsional Indonesia Jilid 1.Jakarta : PT. Balai Pustaka (Persero)

Sutriyono.2020.Kedudukan Pithecanthropus erectus (Homo erectus erectus) terhadap Teori Evolusi Manusia dari Perspektif Integrasi Interkoneksi.Yogyakarta

 

Gusti Helendra S.2019.Makalah Pithecanthropus.Jambi

 

Rica Filasari.2016.Kehidupan Sosial Pithecanthropus Erectus Kala Pleistosen Tengah di Trinil Ngawi Jawa Timur.Malang

 

Sofwan Noerwidi.2009.Sangiran-Patiayam : Perbandingan Karakter Dua Situs Plistosen di Jawa.Yogyakarta

 

Lulu Permata, Anas Nur M, Erwin Yusyrian, Kurnia Ani, Shelvy Alfianie, Sa’diyatus S, Fiyyah Dwi S.2017.Makalah MAnusia Purba di Trinil.Cirebon

 

Sukadji Ranuwihardjo.1976.Penganugerahan Derajat Doctor Honoris Causa Dalam Anthropologi Kepada Prof. Dr. G. H. R Von Koneigswald.Yogyakarta

 

Emmy Ernifiati.2012.Perkembangan Museum Situs Sangiran dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Penegtahuan Tahun 1974-2004.Semarang

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERADABAN BANGSA AKKADIA